APLIKASI KONSELING TERHADAP LARANGAN DAN PANTANGAN MELAKUKAN AKTIVITAS PADA MALAM HARI MASYARAKAT KOTA PALEMBANG

23 Januari 2010 at 18:50 1 komentar


A. Pendahuluan

Pada masa modern dewasa ini cara berpikir seseorang dituntut mengalami suatu perubahan dari cara berpikir yang irasional menuju ke arah yang rasional. Seseorang yang berpikir secara rasional menghendaki adanya perubahan dan logika yang terjadi. Namun, tidak semua orang yang dapat dengan menggunakan rasio dalam menghadapi kejadian atau peristiwa. Kadang-kadang orang langsung percaya dan meyakini sesuatu hal tertentu tanpa menganalisis apakah yang ia lakukan itu benar atau salah. Gejala-gejala ini kadang-kadang masih diikuti oleh sebagian besar masyarakat kota Palembang. Seperti adanya larangan dan pantangan melakukan aktivitas pada malam hari, misalanya membeli minyak lampu, membeli benda-benda tajam (jarum, paku), menyapu, memotong kuku, memotong rambut, dan lain-lain.

Larangan dan pantangan melakukan aktivitas pada malam hari masih dilakukan oleh masyarakat kota Palembang yang tinggal di daerah perkampungan atau daerah pinggiran, yang berpenduduk padat. Sedangkan masyarakat kota Palembang yang tinggal di daerah pusat kota atau di wilayah baru hasil dari pemekaran kota atau masyarakat kota yang tergolong intelektual, larangan dan pantangan tersebut tidak berlaku. Masyarakat yang sudah berpikiran maju ini tidak menghendaki adanya hal-hal yang bersifat irasional. Mereka akan lebih mengakui dan mempercai hal-hal yang mengandung logika dan rasio daripada hal-hal yang berbau irasional dan mistik. Untuk itu, dalam makalah ini penulis memfokuskan objek pembahasannya pada masyarakat yang tinggal di daerah perkampungan atau pinggiran kota yang masih menganut paham tentang adanya larangan dan pantangan untuk melakukan aktivitas pada malam hari.

Menurut pengamatan penulis, daerah-daerah yang masih berpegang teguh terhadap larangan dan pantangan ini terdapat di daerah:/kawasan tangga buntung, sungai tawar, kertapati, 12 ulur, dan sekitarnya.

Adanya larangan dan pantangan untuk melakukan aktivitas pada malam hari ini diyakini benar oleh sebagian masyarakat daerah tersebut. Menurut mereka yang meyakininya, bagi yang melanggar larangan dan pantangan ini akan berakibat buruk, seperti akan terjadi kerugian, musibah, dan rezeki semakin seret, dan lain-lain. Hal ini seakan-akan menjadi sugesti yang telah berurat berakar pada masyarakat kota Palembang hingga kini.

Masyarakat penganut kepercayaan ini perlu diberikan bimbingan dan konseling, dengan tujuan untuk memberikan layanan informasi kepada masyarakat agar diperoleh suatu pengertian yang mengarah kepada kebenaran. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan kajian, baik secara teoretis maupun secara empiris tentang hal ini. Dalam makalah ini penulis mengajukan dua permasalahan sebagai berikut:

  1. Apa yang menyebabkan masyarakat kota Palembang meyakini adanya larangan dan pantangan melakukan aktivitas pada malam hari?
  2. Bagaimana aplikasi konseling terhadap masyarakat kota Palembang yang meyakini adanya larangan dan pantangan melakukan aktivitas pada malam hari?

B. Pembahasan

Larangan melakukan aktivitas pada malam hari merupakan salah satu bentuk larangan yang tidak tertulis yang asal usulnya tidak jelas. Kebanyakan mereka yang melaksanakan larangan dan pantangan hanya ikut-ikutan dan terjadi secara turun-temurun.

Masyarakat kota Palembang yang memegang teguh akan keyakinan ini masih percaya akan akibat yang ditimbulkan apabila ia melanggarnya. Bagi masyarakat yang demikian, diperlukan upaya konseling. Dalam hal melakukan upaya konseling ini, penulis menggunakan pendekatan langsung (directive approach).

Menurut Gunarsa (2003:109),

Tujuan konseling adalah jelas, yakni untuk membantu orang lain mengaktualisakan potensi yang baik yang dimiliki, terutama membantu klien yang kurang memperoleh pengalaman dari lingkungan untuk memenuhi tujuan dan keinginannya.

Pendekatan  langsung diberikan secara langsung dan difokuskan terhadap pemecahan masalahnya yaitu dengan cara mengarahkan, membimbing, mempengaruhi atau memberikan hal-hal yang diperlukan klien agar bisa mengikuti apa yang ditentukan secara otoriter oleh terapis. Pendekatan langsung bisa diberikan kepada klien yang kurang memliki pengertian (insight) dalam menghadapi masalah dan tidak memiliki informasi yang memadai untuk memecahkan masalahnya.

Untuk mencari jalan keluar terhadap masalah yang dialami oleh klien, perlu dilakukan terlebih dahulu untuk mencari penyebab dari akar permasalahannya. Dalam uraian ini penulis awali dengan pembahasan mengenai apa yang menyebabkan masyarakat kota Palembang meyakini adanya larangan dan pantangan melakukan aktivitas pada malam hari

1.  Penyebab Masyarakat Kota Palembang Meyakini Adanya Larangan dan Pantangan Melakukan Aktivitas pada Malam Hari

Maran (2000:38) berpendapat bahwa keyakinan berkaitan erat dengan kepercayaan seseorang tentang bagaimana dunia ini beroperasi. Keyakinan itu bisa berupa pandangan-pandangan atau interpretasi-interpretasi tentang masa lampau, bisa berupa penjelasan-penjelasan tentang masa sekarang, bisa berupa prediksi-prediksi tentang masa depan, dan bisa juga berdasarkan common sense, akal sehat, kebijaksanaan yang dimiliki suatu bangsa, agama, ilmu pengetahuan, atau suatu kombinasi antara semua hal tersebut.

Pendapat Rokeach yang dikutip oleh Sumartana (1945:297) menyatakan pula bahwa keyakinan sebagai ekspektansi (harapan) seseorang, baik yang disadari maupun tidak, mengenai suatu yang dianggapnya mempunyai realitas fisik atas perbuatannya. Jadi, suatu keyakinan merupakan perwujudan fenotipe manusia. Oleh karena itu, kadar keyakinan seseorang itu agak sulit diukur. Ada yang menganggap itu suatu keharusan dan ada pula yang menganggapnya suatu tindakan yang tidak masuk akal.

Implikasi kuat yang mendasari masyarakat kota Palembang yakin dan percaya adanya akibat dari pelanggaran melakukan aktivitas pada malam hari tanpa cukup alasan. Beberapa narasumber yang sempat penulis temui di lapangan menyatakan bahwa mereka hanya mengetahui hal-hal tersebut dari para pendahulunya. Kemudian, mereka pun tidak dapat memberikan alasan dan penyebab yang terjadi dari bentuk larangan dan pantangan tersebut. Hal ini sangat ironis, di satu sisi mereka bertahan untuk tidak melanggar larangan dan pantangan dan di sisi lain mereka tidak mengetahui apa yang menyebabkan mereka membuat aturan mengenai larangan dan pantangan itu.

Adanya larangan dan pantangan membeli minyak tanah (minyak lampu), membeli jarum/paku, memotong kuku, menggunting rambut, dan menyapu, yang semuanya ini tidak boleh dilakukan pada malam hari sangat identik dengan bentuk larangan dan pantangan yang berkias yang biasanya ditemukan dalam kesusasteraan.

Menurut Tarigan (1986:24), untuk menghindari adanya akibat ditimbulkan dari suatu ucapan, maka masyarakat pada zaman dahulu sering kali mengkiaskan beberapa kata, seperti: kata “harimau” diganti dengan kata “nenek”; “ular” diiganti dengan kata “kayu”. Hal yang biasa dilakukan ini untuk menghindari adanya marabahaya yang akan menimpa bagi seseorang jika sedang masuk hutan. Penggantian istilah untuk menyebutkan hal-hal yang khusus ini sering disebut pula dengan pantang bahasa.

Pada zaman dahulu orang semakin kuat meyakini segala sesuatu yang bebau mistik. Keyakinan ini turun-temurun sampai kepada anak cucu mereka. Begitu pula dengan pantang bahasa merupakan suatu ucapan yang tabu jika melanggarnya.

Bila ditinjau dari pemaknaan (simantik), maka kata-kata yang dianggap tabu dan sangat pantang dilanggar ini mengandung makna yang tersirat. Dari segi pemaknaannya mengandung kiasan yang tersendiri, yang arti dari kata tersebut disembunyikan dari makna yang sebenarnya. Misalnya: “gadis” dikiaskan dengan kata “bunga”, “pria” dikiaskan dengan kata “kumbang”,  dan sebagainya.

Di sudut lain pembiasan makna juga terjadi pada bidang Semiotika yang di dalamnya menganalisis ranah budaya. Zoest (1996:40) menjelaskan bahwa pengkajian dalam bidang semiotik berpusat pada ranah budaya yang dititikbertakan pada kajian yang mengarah kepada sistem kebiasaan dan sistem nilai. Sistem kebiasaan yang berlaku sudah mendapatkan suatu pengakuan dan diyakini kebenaran oleh masyarakat. Meskipun keyakinan itu masih bersifat abstrak dan sulit dicari rasionya, masyarakat yang sudah terlanjur meyakini hal-hal yang demikian umumnya menurut saja tanpa melakukan melakukan pengkajian yang lebih mendalam. Itulah sebabnya, mengapa masyarakat kota Palembang masih ada yang berkeyakinan kuat terhadap larangan dan pantangan melakukan aktivitas pada malam hari, padahal apa yang ia lakukan itu sebagai wujud dari pengalaman yang terjadi pada masa lampau.

Dari beberapa teori yang dikemukakan di atas dapat penulis hubungkan dengan beberapa pengalaman yang terjadi sejak munculnya larangan dan pantangan melakukan aktivitas pada malam di masa lampau.

Pada zaman dahulu, di mana orang belum memiliki penerangan mesin listrik, larangan dan pantangan untuk membeli minyak lampu dan membeli benda-benda tajam pun terjadi. Hal ini dilakukannya untuk menghindari adanya akibat yang akan terjadi jika minyak lampu yang dibeli tersebut disalahgunakan untuk membakar rumah. Begitu juga pada paku atau jarum dengan alasan untuk menghindari agar orang tidak berdandan rumah pada malam hari atau menjahit pakaian yang dikhawatirkan akan melukai dirinya sendiri. Alasan ini cukup diterima di masyarakat pada waktu itu, sebab pada umumnya masyarakat Palembang cenderung tidak mau ambil pusing untuk memberi alasan yang cukup berarti. Masyakrat kebanyakan tidak mau mempersoalkan hal-hal yang demikian atau sering disebut pula dengan istilah ngecike balaq.

Begitu pula halnya dengan larangan memotong kuku, menggunting rambut, dan menyapu di malam hari dimaksudkan untuk menghindari suatu kesalahan dalam melakukan kegiatannya. Bisa saja pada malam hari yang cukup gelap orang salah potong rambut atau kuku, serta tidak bersihnya kotoran yang sedang disapu.

Di lain pihak, sebagian masyarakat ingin menikmati waktu pada malam hari hanya dipergunakan untuk beristirahat, sebab menurut mereka segala aktivitas dilakukan pada siang hari saja. Untuk malam hari orang harus tidur dan beristirahat. Oleh karena itu, aktivitas pada malam dilarang karena akan menggangu orang tidur.

2.  Aplikasi Konseling

Seperti telah dikemukakan sebelumnya, sebagai guru pembimbing (konselor) perlu menyiasati hal-hal yang mengandung kekurangpahaman masyarakat terhadap apa yang telah diyakininya. Meskipun perlu diakui bahwa setiap upaya yang dilakukan oleh seorang untuk mengubah suatu kebiasaan tidaklah mudah dilakukan dalam waktu yang singkat. Bagi seorang konselor perlu memikirkan langkah dan teknik yang tepat untuk menjalankan tugas-tugasnya. Untuk itu, sebagai seorang pembimbing perlu mencari pendekatan yang tepat untuk memberi konseling kepada masyarakat.

Konseling yang dilakukan kepada masyarakat tidak terlepas dari kajian dan pendekatan sosial budaya. Sesuai dengan dimensi kesosialannya, masyarakat saling berkomunikasi dan menyesuaikan diri. Menurut Prayitno (1999:172) komunikasi yang berasal dari kelompok masyarakat yang berlatar budaya yang sama cenderung lebih mudah untuk dikonseling daripada masyarakat yang berasal dari latar budaya yang berbeda-beda.

Manusia hidup berada di dalam lingkup sosial dan budaya yang beragam. Oleh karena itu, sedikit banyak keragaman budaya tersebut akan berpengaruh terhadap perilaku individu untuk berbuat dan bertindak, sebab seluruh pengaruh unsur-unsur sosial budaya dalam segenap tingkatannya membentuk unsur-unsur subjektif pada diri individu. Unsur-unsur subjektif itu meliputi berbagai sikap, kepercayaan, penilaian, atau keyakinan. Individu yang berasal dari latar sosial budaya yang sama cenderung memiliki unsur-unsur subjektif yang sama pula.

Ditinjau dari aspek sosial budaya, maka masyarakat kota Palembang yang meyakini larangan dan pantangan melakukan aktivitas pada malam hari hanya bersifat subjektif dan hanya berlaku pada individu tertentu saja. Hal ini menurut pengakuan beberapa masyarakat di daerah Tangga Buntung dan sekitarnya bahwa hanya orang-orang tertentu saja yang masih menganut paham tentang adanya larangan dan pantangan melakukan aktivitas pada malam hari. Dengan kata lain tidak semua masyarakat mau mengikuti paham yang demikian.

Paham akan larangan dan pantangan melakukan aktivitas pada malam hari, dapat dijadikan tradisi warisan dari nenek moyang, sebab pada umumnya masyarakat yang meyakini adanya larangan dan pantangan ini tidak mengetahui secara pasti apakah yang dilakukannya itu raional atau irasional. Hal ini diakui oleh Erwin, penjaga toko yang tinggal di kelurahan 32 Ilir. Ia tidak mau menjual minyak lampu, jarum atau paku pada malam hari. Adapun sebab-sebabnya, ia tidak mengetahuinya lebih mendalam. Menurutnya, ia hanya takut saja akan akibat yang ditimbulkan jika melanggar larangan dan pantangan ini. Ia hanya meniru perbuatan yang pernah dilakukan oleh para orang tuanya.

Pendapat yang sama juga diungkapkan oleh Ibu Maryama yang tinggal di kelurahan yang sama bahwa ia sangat melarang keras kepada anak-anaknya untuk memotong kuku, menggunting rambut, dan menyapu pada malam hari. Sebab-sebabnya tanpa diketahui dengan jelas.

Dari kedua gambaran peristiwa di atas jelaslah bahwa apa yang dilakukan oleh masyarakat tersebut merupakan bagian dari perilaku individual. Sebagai seorang konselor, perlu memberikan konseling kepada masyarakat yang terlanjur meyakini keyakinan ini. Budaya yang dianut oleh masyarakat ini merupakan budaya warisan yang tidak diketahui dengan jelas, baik secara logika maupun rasional.

Dalam hal ini konselor dapat memberikan layanan informasi secara individual kepada masyarakat melalui teknik langsung. Menurut pendapat Thorne yang dikutip oleh Gunarsa (2003:113) memberikan langkah dalam menjalankan teknik konseling dengan pendekatan langsung meliputi teknik-teknik sebagai berikut: “1) menanamkan kepercayaan; 2) memberikan saran; 3) pemberian nasihat; 4) membujuk (persuasi); 5) memotivasi.”

Dalam rangka pendekatan langsung yang diberikan kepada klien terutama teknik-teknik pemberian nasihat, dorongan, saran dan bujukan, sering kali sangat efektif hasilnya, bahkan bukan hanya tujuan perubahan sementara, melainkan bisa mengubah pribadi klien. Apa yang diberikan dengan teknik tersebut adalah sesuatu yang datang dari luar (dalam hal ini dari konselor atau terapis) yang ingin diberikan dan diharapkan selanjutnya menjadi bagian dari kepribadiannya, setelah melalui periode tertentu.

Memberikan nasihat jelas dapat dilakukan kepada seseorang atau masyarakat yang tidak tahu apa yang harus dilakukakan atau dalam pengambilan sesuatu keputusan meminta konselor atau terapis untuk menentukan mana yang baik atau tidak baik untuk dilakukan. Jika nasihatnya benar-benar diyakini untuk kebaikan klien, konselor bisa memberikan saran agar sebaiknya mengikuti pemikiran konselor atau terapis atau apa yang telah dipikirkan bersama. Kepercayaan terhadap konselor atau terapis akan mempengaruhi klien apakah ia akan mengikuti saran yang diberikan atau tidak. Apabila klien terlihat ragu-ragu, maka dorongan (support) bisa diberikan. Karena itu dorongan maupun saran boleh diberikan secara bersama atau tersendiri.

Menghadapi kasus yang melanda pada masyarakat kota Palembang, pengetahuan seorang konselor terhadap suatu permasalahan perlu ditingkatkan. Oleh karena itu, diperlukan suatu langkah-langkah konseling untuk mengkaji suatu permasalahan. Dari permasalahan di atas, konselor sepatutnya memberikan kesadaran kepada masyarakat bahwa apa yang dilakukannya itu semuanya keliru. Terlebih-lebih hidup di kota besar ini, segala aktivitas manusia kadang-kadang tanpa henti-hentinya. Siang seperti malam dan malam pun bagaikan siang. Dalam hal ini konselor harus memberikan pemahaman yang rasional dan logika terhadap masyarakat kota Palembang yang meyakini adanya larangan dan pantangan untuk melakukan aktivitas pada malam hari. Di samping itu, kepercayaan masyarakat terhadap keyakinan ini harus dibangkitkan, seperti adanya keyakinan bahwa rezeki akan seret jika menyapu pada malam hari.

Menurut Prayitno (1999:17), kehidupan manusia yang selengkapnya harus menjangkau hubungan manusia dengan Tuhannya yaitu termasuk dalam dimensi keagamaan. Dalam dimensi keagamaan ini kehiduoan manusia selalui dikaitkan dengan adanya Tuhan yang Mahaesa. Dalam hal ini seorang konselor harus mampu meyakinkan seorang klien bahwa dalam kehidupan ini hanya Tuhan yang mengatur segala-galanya. Anggapan masyarakat akan adanya rezeki seret (susah) dan lain-lain sebagai akibat dari perbuatan yang melanggar larangan dan pantangan melakukan aktivitas pada malam hari itu patut diberikan suatu pengertian yang benar bahwa rezeki yang ada di dunia ini hanya Tuhan yang Maha Tahu. Manusia dipersilakan untuk mencari rezeki yang tumpah ruah di muka bumi ini, kemudian jangan lupa selalu berdoa kepada yang Maha Kuasa agar usahanya itu mendapat rida dari-Nya.

C. Penutup

Berdasarkan beberapa hasil pembahasan di atas, dapat penulis simpulkan bahwa larangan dan pantangan melakukan aktivitas pada malam hari di kota Palembang dan akibatnya bagi masyarakat yang melanggar belum memiliki alasan yang kuat. Umumnya masyarakat hanya mengikuti saja tradisi turun-temurun dari nenek moyang atau para pendahulunya. Hal ini dilakukan semata-mata sebagai bentuk kias dari perbuatan yang tanpa disertai dengan penjelasan atau alasan yang jelas.

Sebagai seorang konselor perlu melakukan segala upaya untuk menetralisir anggapan tersebut. Teknik yang dilakukan dapat digunakan secara langsung dengan menanamkan kepercayaan; memberikan saran; pemberian nasihat; membujuk (persuasi); memotivasi. Di samping itu perlu diperhatikan pula dimensi keagamaan yang telah dilakukan oleh sebagian besar masyarakat yang meyakini adanya larangan dan pantangan tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Gunarsa, Singgih D. 2003. Konseling dan Psikoterapi. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia.

Maran, Rafael Raga. 2000. Manusia dan Kebudayaan dalam Persepektif Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Rineka Cipta.

Prayitno dan Erman Amti. 1999. Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Rineka Cipta.

Sumartana (penyunting). 1995. Mendidik Manusia Merdeka. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Tarigan, Henry Guntur. 1986. Prinsip-Prinsip Sastra. Bandung: Angkasa.

Zoest dan Panuti Sudjiman. 1996. Serba-Serbi Semiotika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Entry filed under: Budaya, psikologi. Tags: , , , , , , , , , , , , , , .

Surat Terbuka ………. PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS MENCARI INFORMASI DALAM KETERAMPILAN MENULIS KARANGAN ARGUMENTASI

1 Komentar Add your own

Tinggalkan komentar

Trackback this post  |  Subscribe to the comments via RSS Feed


Jika Anda berminat menautkan blog ini, copy dan paste kode banner di bawah ini ke blog atau situs Anda.
<a href="https://tarmizi.wordpress.com" target="_blank"><img src="http://cdn-users1.imagechef.com/ic/stored/2/100319/anmfe5cf44cf7742a9b.gif" align="Center">

Translate Isi Blog

Arabic Korean Japanese Chinese Simplified Russian Portuguese English French German Spain Italian Dutch

Yang sedang online saat ini

free counters

Statistik Blog

Statistik Kunjungan

  • 1.883.409 Pengunjung

Arsip

Masukkan alamat surel Anda untuk berlangganan blog ini dan menerima pemberitahuan tulisan-tulisan baru melalui surel.

Bergabung dengan 61 pelanggan lain

RSS Blogger Indonesia

  • Sebuah galat telah terjadi; umpan tersebut kemungkinan sedang anjlok. Coba lagi nanti.

FACEBOOK

Profil Facebook Tarmizi Ramadhan



Lintas Berita – Berita Terbaru


POLLING TERBUKA

Kompetisi Blog Kebahasaan

balaibahasabandung.web.id

Kalender

Januari 2010
S S R K J S M
 123
45678910
11121314151617
18192021222324
25262728293031